Saturday, July 13, 2013

Separuh Naluri yang Tak Kunjung Kembali

Hallo kamar semu....
Sudah lama sebenarnya aku menyebutnya sebagai kamar semu. Iya, kamar. Di kamar lah kita bisa melakukan semua hal yang ingin kita lakukan. Tentunya, jika kamar itu milik kita pribadi.
Baiklah...masih tetap sama. Kali ini aku ingin sedikit mengeluarkan ion-ion otak yang sudah beberapa malam ini sulit membuat mata terpejam.

Oh iya, aku belum pernah cerita. Setelah gagal masuk NCI ( sudah pernah aku ceritain di post last UNSPEAKABLE ) ternyata sama Allah dikasih rejeki yang lain. Iya, Alhamdulillah aku lolos SNMPTN di Universitas Negeri Malang prodi Pendidikan IPA. Banyak sekali cerita selama setahun di jurusan ini. Of course, It created so much bittersweet memories :") Nanti kalau ada kesempatan insyaAllah aku ceritakan kok :)
Prodi Pendidikan IPA pilihan kedua ku. Jujur, aku asal milih waktu itu. Aku bodoh sekali tanpa mempertimbangkan segala konsekuensi. Iya, memang ketika itu aku tidak begitu niat ikut SNMPTN karena memang targetku aku bisa masuk Sekolah Tinggi. Bukan Universitas. Iya, aku masih cinta sama seragam (halah -,-). Sempet lolos tahap 1 di salah satu Sekolah Tinggi yang juga kedinasan di Yogyakarta. Tapi memang cuma sampai D1. Entahlah, tiba-tiba aku enggan melanjutkan. Begitu juga saran dari mamahku. Akhirnya aku memutuskan untuk menjalani kuliah di Pend.IPA ini. Waktu masuk pertama kali, nggak ada rasa deg-deg an sama sekali. Saat itu yang ada di pikiranku, "ikuti saja arus air". Dan...tak terasa itu berjalan hingga satu tahun. Alhamdulillah selama di Pend.IPA ini meskipun aku tidak begitu niat, tapi IP selama dua semester cukup memuaskan. Tapi..... entah kenapa aku masih belum bisa menjalani dengan niat yang ikhlas, padahal berkali-kali dosen kimiaku selalu memberikan ceramah bahwa mulai saat itu juga kita harus meluruskan niat. Sempat sudah bisa lurus, tapi lagi-lagi goyah. Akhirnya...aku memutuskan untuk mendaftar lagi. Sempat berkali-kali berubah pikiran mau daftar di mana lagi. Sempat juga ingin di Universitas tetangga.

Akhirnya aku memutuskan untuk mendaftar lagi di Sekolah Tinggi. Kali ini aku memilih dua sekolah tinggi. NCI dan STTN (Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir). Iya, aku datangi NCI untuk kedua kalinya. Aku masih menaruh harapan pada NCI. Meskipun fisikku sudah tak sekuat dulu lagi. Meskipun semangatku tak sehebat dulu lagi. Tapi aku masih menginginkan NCI. Iya, aku sangat menginginkan NCI. Namun... lagi-lagi manusia hanya bisa berencana dan berharap. Aku gagal lagi di NCI. Bahkan hanya sampai tahap 2. Padahal dulu bisa sampai tahap 4. Ah, entahlah. Itu memang bukan jalanku. Seketika itu, aku sangat rajin berdoa. Kini satu-satunya harapanku adalah aku bisa masuk di STTN. Pengumuman di STTN hanya berselang 3 hari dari pengumuman di NCI. Selama tiga hari itu pula aku benar-benar berdoa kepada Allah SWT untuk bisa masuk di STTN. Selama tiga hari itu pula aku berubah menjadi orang yang rajin sekali beribadah karena pamrih. Iya, dalam doaku, "aku masuk di STTN". Aku sangat yakin ketika itu aku akan bahagia jika aku diterima di STTN. Sempat terbesit bagaimana jika aku gagal mendaftar di dua sekolah tinggi ini ? Bagaimana jika aku harus kembali ke Pendidikan IPA dengan tangan kosong ? Padahal teman-temanku di Pend.IPA rela mengundur jadwal UAS hanya karena dosenku tidak mau jika ada satu mahasiswa yang tidak hadir.

Akhirnya hari yang kutunggu tiba. Ketika itu hari Senin. Sengaja aku buka siang hari website sekolah tinggi itu. Berkali-kali aku check belum juga muncul. Ah, sudahlah mungkin nanti sore, pikirku. Tiba-tiba sekitar jam 12 siang ada SMS masuk dari kakak kelasku yang sudah menjadi mahasiswa di STTN. Kakak itu mengatakan bahwa aku diterima di prodi Teknokimia Nuklir. Iya, prodi itu memang pilihan pertamaku. Aku belum percaya jika aku belum melihatnya sendiri. Itu lah salah satu sifatku. Aku sempat mengatakan tentang SMS ini kepada mamahku. Tapi kami sama-sama belum percaya. Beberapa saat kemudian aku buka lagi website itu dan ternyata sudah terpampang pengumuman yang aku tunggu. Setelah aku buka hasilnya.... ternyata apa yang dikatakan kakak kelasku itu benar. Alhamdulillah, aku benar-benar diterima di STTN. Namun, entah mengapa aku tidak se-bahagia yang aku bayangkan. Aku memang lega, terlebih orang tua ku. Mereka tampak sangat mendukungku. Namun entah mengapa ada perasaan khawatir yang aku tak tahu itu apa yang seketika menyelimuti kebahagiaanku.

Seiring waktu berjalan... Tentunya aku mulai sibuk mempersiapkan segala kebutuhan daftar ulang. Sudah pasti, ini ribet. Tapi semua calon mahasiswa baru STTN pasti juga merasakan hal yang sama. Dan sampai pada waktu daftar ulang di mana aku harus datang ke kampus STTN. Aku ditemani mamahku berangkat ke Jogja dan menyelesaikan segala urusan di sana. Setelah urusan selesai kami numpang istirahat di rumah teman bapakku sambil menunggu travel untuk pulang. Ketika itu mamah bisa tertidur lelap. Mungkin memang kecapekan. Aku juga capek, tapi aku merasakan kerisauan yang amat mendalam yang ada di hati dan pikiranku. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apakah aku yakin akan masuk sekolah tinggi ini ? Apakah aku yakin akan meninggalkan Pend.IPA ? Apakah aku sebagai anak yang paling manja di rumah benar-benar bisa jauh dari orang tua ? Aaaah ! Terlalu banyak pertanyaan yang membuatku semakin risau ketika itu. Sampai-sampai aku tak kuasa menahan air mataku bercucuran. Sengaja aku gigit bibir bawahku agar tangisku tak bersuara. Aku tak ingin mamahku mengetahui kerisauan akan hal yang sudah aku pilih sendiri. Sampai malam datang ketika perjalanan pulang pun aku masih sangat risau. Berkali-kali aku aku berusaha menahan erat air mataku agar tak jatuh setetes pun. Sampai akhirnya... risau itu hilang seiring dengan semakin dekatnya jarak menuju rumah.

Dan....siapa sangka risau itu akan benar-benar hilang. Semakin hari risau itu justru semakin meradang. Menjalar entah dari mana ke mana. Yang jelas ada pada diriku setiap saat. Juga ada pada kalbuku. Iya, setiap saat ! Mungkin risau itu menjauh hanya ketika aku melakukan shalat, membaca Al-Quran dan ketika aku berkumpul dengan orang-orang yang aku sayangi. Iya, orang-orang terdekatku. Lalu...bagaimana jika di sana nanti ? Aku tak punya orang terdekat. Apa aku akan merasakan risau yang menderu hingga empat tahun mendatang ? Aku sadar. Aku selalu tergesa-gesa menentukan pilihanku. Aku sadar, lagi dan lagi aku tak mempertimbangkan secara matang terhadap segala konsekuensi yang harus aku hadapi kelak. Aku sadar, aku sering terbawa suasana dan emosi ku sesaat. Aku tak memikirkan jangka panjang tentang bagaimana aku keluar dari zona nyamanku. Dan aku seakan lupa bahwa aku bukanlah manusia yang selalu berpikiran "past is the past". Iya, aku tidak mudah move on dari orang-orang sekitarku. Bagaimana pun itu. Aku sangat menghargai waktu, meskipun sudah berlalu. Jika saja aku bisa, aku ingin selalu membekukan waktu. Namun...aku adalah makhluk Allah yang tak punya kuasa untuk membekukan waktu. Seakan-akan aku selalu tak bisa hidup jika jauh dari orang-orang yang selalu ada di sampingku, yang selalu ada di sekelilingku. Entahlah....aku juga tak mengerti mengapa aku begini.

Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan sekarang selain berdoa dan berdoa. Aku tak sanggup jika aku harus menceritakan kerisauanku ini kepada keluargaku, terlebih kepada orang tuaku. Sungguh, aku tak sanggup ! Aku tak ingin mereka kecewa karena anaknya yang pengecut ini, yang tidak bisa konsekuen terhadap apa yang telah dipilihnya. Apalagi kamar kost baru sudah dipesan, sebagian barang-barangku juga sudah dikemas. Semua persiapan insyaAllah sudah selesai. Tinggal satu yang terpenting yang belum usai. Yaitu hati. Iya, naluri hatiku belum sepenuhnya siap. Mungkin hanya separuh naluriku yang sudah menyatakan kesiapannya. Separuhnya lagi...entahlan masih terombang-ambing tak karuan. Hanya doa dalam setiap sujudku yang sangat aku harapkan untuk bisa mengumpulkan dan menyatukan separuh hatiku yang masih sulit untuk menorehkan niat yang tulus, niat yang ikhlas untuk menjalani duniaku yang baru. Aku selalu percaya, Allah selalu memberikan jalan terbaik untuk umat-Nya. Allah selalu ada ketika tak ada siapa pun di sampingku. Allah, Dia lah satu-satunya yang sanggup menyatukan bagian dari naluri yang hilang. Karena tidak ada naluri yang lebih tentram selain karena ridha Allah. :")

No comments:

Post a Comment